50 Tahun Wihara Dharmakirti


Napak Tilas Jejak Ashin Jinarakkhita di Palembang

1. Cerita dari Selembar Foto Hitam Putih

Dalam foto itu, tampak Ashin Jinarakkhita muda (S), duduk di kursi di beranda sebuah rumah tempo ‘doeloe’. Di sekelilingnya terlihat laki-perempuan, tua-muda, berdiri maupun jongkok membentuk posisi siap difoto.

Dulunya saat memasang foto itu di blog aku: harpin.wordpress.com, aku sama-sekali tak memiliki informasi tentang foto tersebut, selain keterangan pada file pdf: ‘foto Ashin Jinarakkhita di Palembang, tahun 1960.’

Sampai akhirnya, minggu lalu, Romo Darwis (Ketua Yayasan Buddhakirti, Palembang) telepon, menanyakan kesediaan saya menulis buku sejarah Wihara Dharmakirti, untuk memperingati HUT 50 Tahun Wihara Dharmakirti.

Tawaran ini aku sambut antusias. Saya memang tengah menggali jejak Ashin Jinarakkhita menabur benih Dharma di Bumi Nusantara. Diawali mencari foto tempo doeloe beliau, kemudian mengurutkan peristiwa dalam foto berdasarkan tahun kejadian dalam blog aku.

Melalui bantuan ‘Om’ Google, saya mengumpulkan data dan foto beliau yang tersebar di dunia maya. Rekan Momo membantu mengirimkan file pdf yang pernah aku lihat saat acara mengenang Ashin Jinarakkhita di Ekayana.

Menyusun Puzzle

Ini seperti pekerjaan menyusun puzzle. Dimulai dari mengumpulkan keping demi keping mosaik itu yang tersebar tak beraturan: foto, postingan curcol (curhat colongan) di milis-milis Buddhis, juga sedikit memori yang pernah aku dengar, untuk disusun dan diurutkan satu persatu mengikuti tahun kejadian.

Mengejutkan dan mengagumkan. Keping-keping data yang tadinya berserakan dimana-mana tanpa arti, seperti tak berkaitan, setelah diurutkan berdasarkan tahun, tiba-tiba mengalirkan begitu banyak informasi, tentang haru-biru, pahit-getirnya perjuangan seorang Ashin Jinarakkhita  menebar Dharma di Bumi Nusantara.

Ada kisah perjuangan, kesetiaan, penghianatan, penyangkalan, bahkan kudeta. Ada kisah pengabdian, juga keserakahan manusiawi di dalamnya. Ada cerita anicca/ketidakkekalan dan buah dari perbuatan.

Ini bukan kisah politik, tapi fakta di lapangan membawaku pada realita, terlalu banyak intrik dan peristiwa politik di dalamnya, yang melibatkan orang-orang di sekitar beliau dengan kepentingan tersendiri. Mosaik itu kemudian menjadi kisah bawah tanah yang menguak ke permukaan.

Beragam Komentar

Reaksi orang terhadap ‘mosaik lukisan waktu’ inipun beragam. Baik dalam komentar  di blog, lewat milis maupun facebook.

Ada yang berterimakasih, karena banyak peristiwa yang dulu mereka alami dan kebingungan mengenainya, kini mereka tahu sebab-musababnya.

Seperti pada suatu acara, beberapa biksu Therawada tidak mau satu meja makan dengan biksu yang lain, sampai panitia harus menyiapkan meja makan terpisah, ternyata alasannya adalah ‘kasta’, mungkin kelompok biksu itu merasa derajatnya lebih tinggi dari biksu-biksu yang lain. Mengherankan juga, Buddha Gautama memandang manusia tak sepantasnya disekat kasta, tapi dalam kebikuan pun ternyata ada ‘kasta’.

Banyak juga yang berterimakasih, bisa mengenang Ashin Jinarakkhita lewat foto-foto yang tak pernah mereka lihat. Beberapa mahasiswa minta ijin menggunakan data dan foto tersebut, untuk penelitian ataupun membuat skripsi.

Selain itu, ada satu komentar yang muncul awal-awal saya memposting tulisan itu di blog, isinya memaki dengan kata-kata ‘monyet’ dan sejenisnya. Tentu komentar ini tak aku jawab dan tampilkan, langsung masuk kotak sampah.

Setelah itu tak pernah muncul komentar seperti itu lagi.

Yang muncul kemudian komentar ambigu, seolah memuji tapi ingin menjebloskan. Ini terlihat dari inisial si komentator: Ben-angkusut, atau kalau dirangkai jadi Benangkusut, dengan email jadi-jadiannya ben-kusut@yahoo.com yang terlacak saat ia memberi komentar di wordpress. Ben merupakan Bahasa Jawa, yang berarti ‘supaya’, jadi arti emailnya kira-kira: biar kusut, hehe. Alamat emailnya sudah menggambarkan misinya.

Karma Berlaku

Bagi aku sendiri, bila kita siap mendengar, Sang Waktu akan menceritakan segalanya dengan bahasa bisunya. Puzzle foto atau ‘mosaik lukisan waktu’ perjalanan Ashin Jinarakkhita, menceritakan siklus karma yang berulang. Kudeta terhadap Ashin Jinarakkhita, yang mengkudeta nantinya juga dikudeta, dan dikudeta lagi.

Belajar dan mengambil sisi positif dari hal ini, seharusnya fakta historis ini membuat kita lebih berhati-hati dan tak jumawa. Untuk menghormati guru, tak lupa diri dan serakah, karena buah dari perbuatan akan mengikuti, bagaikan bayangan roda pedati mengikuti pedatinya.

Tak Mengenal Dekat

Saya sendiri tak kenal dekat mendiang Ashin Jinarakkhita. Sewaktu aku masuk Sanggha, beliau sudah tua, duduk di atas kursi roda dan jarang bicara.

Aku juga tak tinggal di Wihara Sakyawanaram, tempat beliau berada. Paling bertemunya pas acara Sanggha, dimana  kami biksu-biksu mengunjunginya beramai-ramai, antri untuk namaskara ke beliau, dan mendapatkan beliau menangis sesungukan berlinang air mata haru, menerima kunjungan kami para murid dan cucu muridnya.

Atau pas mengisi PPD di puncak, bersama teman-teman aktivis menyempatkan diri bernamaskara pada beliau.

Siluet Bercerita

Namun, ketika mosaik foto itu tersusun dan bercerita, saya seperti melihat siluet perjalanan beliau dari masa ke masa. Semangat beliau, pengorbanan beliau, rasa kasih kepada muridnya yang begitu besar, dan kesedihan beliau ketika murid yang ia kasihi meninggalkannya, bahkan menginkari pernah menjadi muridnya.

Dengan segala kesulitan, penghianatan, intrik dari kiri-kanan, ditambah tekanan politik pemerintah Orde Baru , beliau tetap berjuang dan berkarya untuk agama Buddha.

Hampir seumur hidupnya, diabdikan untuk Buddha Dharma. Menjadi anagarika dan ditabhiskan sebagai samanera pada umur 30 tahun, meninggal di usia 80 tahun. Setengah abad lebih rasanya beliau berkarya untuk Agama Buddha

Saya yang sebelumnya tak begitu tahu dan peduli tentang beliau, dalam proses penggalian ini, perlahan menancap ulu hati saya, untuk melihat betapa kecil dan tak berartinya saya, dibanding apa yang beliau perbuat untuk Buddha Dharma di Indonesia.

Kesimpulannya, bagaimana mahirnya saya melukis dengan kata dan aksara, tak akan pernah bisa melukis kebesaran beliau.

Hujan Kehujanan, Panas Kepanasan.

Pada masanya beliau, kemana-mana tak semudah kita sekarang ini, bisa terbang kapan saja dengan pesawat murah.

Pada jaman itu, transportasi umum hanyalah kereta api dan mobil untuk jalur darat. Disambung jalan kaki, karena banyak jalan masih tanah merah tak rata yang sering tak bisa dilewati mobil. Jalan tanah tak beraspal itu, akan sangat berdebu bila musim kemarau, dan licin seperti kubangan kerbau saat hujan tiba.

Jangan membayangkan mobil ber-ac, yang ada kalau panas kepanasan, seluruh tubuh penuh debu. Jangan juga berdoa turun hujan, seringkali hujan membuat jalan licin dan perjalanan berantakan, bisa-bisa menginap di jalan dan mobil masuk jurang.

Begitulah pilihan transportasi yang ada saat itu. Saat Ashin Jinarakkhita muda berjubah, berjibaku menerobos hutan penuh ilalang dan duri, naik-turun gunung.

Terkadang ia kehujanan. Seringkali pula berjalan kepanasan diiringi perut keroncongan. Belum lagi bila bertemu binatang buas atau preman.

Saat itu, belum banyak yang tahu apa itu agama Buddha. Seringkali penduduk setempat akan berteriak lantang “Botak! Botak!” bila melihat biksu berbaju aneh dengan kepala plontosnya. Kalau sekarang, karena pengaruh film shaolin, mungkin mereka masih bisa berkata “Amitabha!”, yang kadang diplesetkan jadi Amitabacan, nama pemain film India yang popular.

Tak jarang juga, ada orang begitu iseng plus tega menimpuk biksu dengan batu, seperti diceritakan Almahum Bhiksu Nyanajayabhumi yang pernah ditimpuk batu di suatu wihara.

 Tahu Terima Kasih

Memahami kondisi inilah, hati saya hanya miris, bila membaca tulisan di facebook atau website yang menghilangkan atau menghitamkan peran beliau dengan cacian.

Tahu apa sih anda tentang penyebaran Buddha Dharma di Indonesia? Sumbangsih apa yang sudah anda berikan? Dimana anda berada saat beliau harus jalan kaki keluar masuk hutan, naik-turun gunung menabur Buddha Dharma?  Tak jarang beliau harus kehujanan dan perut keroncongan  karena sulitnya medan perjalanan dan belum bertemu rumah yang dituju. Semua beliau lakukan hanya untuk membangkitkan kembali agama Buddha di Indonesia.

Dalam Sigala Sutta, Buddha mengajarkan kita untuk menghormati orang tua dan guru, bahkan pelayan sekalipun. Tak secuil pun Buddha mengajarkan menghujat dan membenci, terhadap musuh dan setan sekalipun.

Dalam Karaniya Metta Sutta, Buddha mengajarkan untuk selalu mengasihi, “Jangan karena marah dan benci, berharap orang celaka.”

Jadi, bila kita pengikut Buddha, tak ada alasan untuk menghujat orang lain, apalagi kepada seorang biksu yang sangat berjasa dalam penyebaran agama Buddha di Indonesia.

Bila anda menghargai dan mau berterimakasih pada beliau itu baik. Bila anda tak sepaham dengan beliau, anda bisa berseberangan tanpa harus mencaci atau menghilangkan jasa beliau membangkitan kembali agama Buddha di Indonesia.

===========================0000000000==========================

Komentar Pembaca di Milis:

Re: [gmcbp] 50 Tahun Wihara Dharmakirti Palembang

Tak terasa menitik air mataku membaca tulisan bro Harpin.

Walaupun saya juga tidak mengenal beliau secara mendalam, tapi saya bisa membayangkan perjuangan beliau dulu. Karena hingga akhir tahun 80an perjuangan menyebarkan Dharma masih cukup sulit. Apalagi dekade-dekade sebelumnya.

Beruntung saya masih pernah berjumpa dengan beliau dan bernamaskara pada beliau. Tanpa jasa beliau, belum tentu saya mengenal Buddhisme dalam kehidupan kali ini. Semoga jasa beliau dalam membangkitkan kembali Buddha Dharma di Indonesia akan tercatat dengan tinta emas dalam setiap hati Buddhis Indonesia. Dan berkat parami beliau semoga beliau tidak terlahir lagi.
Pekanbaru, 25 Juni 2012
Pritta Powered by Telkomsel BlackBerry®   — In samaggiphala@yahoogroups.com, yulistina sandji <yulistinasandji@…>
wrote:
>
> Kapankah karya (puzzle) anda ini diterbitkan? Dimana bisa  memperolehnya? saya tidak sabar untuk membacanya.   Saya tidak mengenal beliau dari dekat, tidak pernah berbincang langsung, hanya pernah melihat sekilas dalam suasana sangat biasa, bukan di panggung atau dalam upacara besar, bisa dibilang di lapangan parkir. Tapi kesan yang saya dapat sangat istimewa. Ketika kita bertemu orang dengan ketulusan hati yang demikian dalam, we just knew it…. bahkan tanpa bahasa apapun. Membaca biografi Xu Yun, saya teringat Sukong lagi… adakah perjalanan mereka serupa?   Terima kasih untuk usaha anda menghadirkan kisah beliau untuk kita dan
semua yang tak berkesempatan mengenal beliau dari dekat.
>
> anumodana,
> yuli   Re: [samaggiphala] 50 Tahun Wihara Dharmakirti Palembang

Di film kan aja biografi yg mulia guru Aishin biar dunia tahu napak tilas
beliau.

Effendi Tendean
——————————————00000——————————————-

(Bersambung ke Bab.2 Palembang, Wong Kito Galo)

Diterbitkan oleh harpin

sEORANG pengembara, jauh dari rumah. Terus melangkah menyusul senja tiba, apalagi ya? hehe

Tinggalkan komentar